Denny Indrayana: Jika MA Menangkan PK Moeldoko, Demokrat Dibajak, Anies Akan Gagal Maju Capres 2024! -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Denny Indrayana: Jika MA Menangkan PK Moeldoko, Demokrat Dibajak, Anies Akan Gagal Maju Capres 2024!

Kamis, 01 Juni 2023 | Juni 01, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-06-01T09:16:15Z


WANHEARTNEWS.COM - Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana menyebut ada peluang Anies Baswedan gagal maju capres di Pilpres 2024.


Kemungkinan gagalnya Anies maju di Pilpres 2024 yang disebut Denny Indrayana ini apabila Mahkamah Agung (MA) memenangkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko atas kepengurusan Partai Demokrat.


Diketahui, Anies Baswedan adalah capres yang diajukan dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan,


Kini, Partai Demokrat di bawah komando Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) telah memutuskan mendukung Anies di pesta demokrasi nanti. 


Partai berlambang bintang mercy itu tergabung dengan Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang terdiri dari Nasdem dan PKS.  


"Jika PK Kepala Staf Presiden Moeldoko sampai dikabulkan MA, Partai Demokrat nyata-nyata dibajak, dan pencapresan Anies Baswedan dijegal kekuasaan," kata Denny dalam keterangan tertulis, Selasa (30/5/2023).


Ia mengaku khawatir jika penguasa menggunakan alat hukum untuk menjegal seorang bakal capres untuk berlaga di Pilpres 2024. 


"Dalam pesan yang saya kirim itu, saya juga khawatir soal hukum yang dijadikan alat pemenangan pemilu 2024, bukan hanya di MK (Mahkamah Konstitusi), tetapi juga di MA." 


"Secara spesifik saya mengajak publik untuk juga mengawal proses PK yang diajukan Kepala Staf Presiden Moeldoko atas Partai Demokrat," ujarnya. 


"Proses PK tersebut lebih tertutup dan tidak ada persidangan terbukanya untuk umum, maka lebih rentan diselewengkan," kata Denny Indrayana.


"Jangan sampai kedaulatan partai dirusak oleh tangan-tangan kekuasaan, bagian dari istana Presiden Jokowi, lagi-lagi karena kepentingan cawe-cawe dalam kontestasi Pilpres 2024," imbuh dia.


Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu menjelaskan, proses PK tersebut lebih tertutup dan tidak ada persidangan terbukanya untuk umum, sehingga lebih rentan diselewengkan. 


"Jangan sampai kedaulatan partai dirusak oleh tangan-tangan kekuasaan, bagian dari istana Presiden Jokowi, lagi-lagi karena kepentingan cawe-cawe dalam kontestasi Pilpres 2024."


"Seharusnya Presiden Jokowi membiarkan rakyat bebas memilih langsung presidennya. Mari kita ingatkan bunyi Pasal 6A UUD 1945: Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat," ujarnya. 


Sebelumnya, juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suharto membantah kabar kalau PK yang dilakukan Moeldoko terkait kepengurusan DPP Partai Demokrat akan dikabulkan oleh MA.


"Berdasarkan Sistem Informasi Administrasi Perkara di MA itu, tanggal distribusi masih kosong dan majelisnya masih kosong alias belum ada. Bagaimana mungkin putusannya bisa di tebak-tebak? Tunggu saja proses di MA terkait perkara itu," ujarnya kepada Kompas TV, Senin (29/5/2023). 


Suharto menjelaskan, berdasarkan sistem informasi administrasi perkara di MA Nomor 128 PK/TUN/2023, pihaknya belum menetapkan majelis hakim dan waktu persidangan dalam PK yang diajukan KSP Moeldoko tersebut. 


"Nanti setelah tanggal distribusi terisi tanggalnya dan ada ditetapkan majelisnya, maka majelis mempelajari berkasnya dan menetapkan hari dan tanggal persidangan," ujarnya.


Indonesia Bukan Predator


Sebelumnya, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turut urun rembuk dalam persoalan tersebut. 


Melalui akun Twitternya, SBY mengaku menerima telepon dari mantan menteri yang menyampaikan pesan dari seorang politisi senior terkait PK Moeldoko, Minggu (28/5/2023).  Presiden ke-6 Republik Indonesia itu juga mengaku kerap menerima pesan serupa.


”Jangan-jangan ini serius bahwa Demokrat akan diambil alih. Berdasarkan akal sehat, sulit diterima PK Moeldoko dikabulkan MA karena sudah 16 kali pihak KSP Moeldoko kalah di pengadilan," tulisnya.


"Kalau ini terjadi, info adanya tangan-tangan politik untuk mengganggu Demokrat agar tak bisa ikuti Pemilu 2024 barangkali benar. Ini berita yg sangat buruk,” lanjutnya.


Ia pun berharap agar pemegang kekuasaan, baik politik maupun hukum, tetap amanah dengan menegakkan kebenaran dan keadilan. 


"Indonesia bukan negara ’predator’ (yg kuat memangsa yg lemah) serta tak anut hukum rimba- yg kuat menang, yang lemah selalu kalah,” jelasnya.


Selain itu, SBY juga mengimbau kader Partai Demokrat di seluruh tanah air, agar mengikuti perkembangan PK Moeldoko dan selalu mengikuti petunjuk Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).


"Jika keadilan tak datang, kita berhak memperjuangkannya secara damai dan konstitusional," ujarnya.


Pada kesempatan itu, SBY juga menanggapi isu perubahan sistem Pemilu 2024 menjadi proporsional tertutup.


"Jika yang disampaikan Prof Denny Indrayana “reliable”, bahwa MK akan menetapkan Sistem Proporsional Tertutup, dan bukan Sistem Proporsional Terbuka seperti yang berlaku saat ini, maka hal ini akan menjadi isu besar dalam dunia politik di Indonesia," tulis SBY.


Terkait perubahan sistem pemilu, menurut SBY, ada tiga pertanyaan besar yang menjadi perhatian publik, mayoritas parpol, dan pemerhati pemilu.


"Pertanyaan pertama kepada MK, apakah ada kegentingan & kedaruratan sehingga sistem pemilu diganti ketika proses pemilu sudah dimulai? Ingat, DCS (Daftar Caleg Sementara) baru saja diserahkan kpd KPU. Pergantian sistem pemilu di tengah jalan bisa menimbulkan “chaos” politik," jelas SBY.


"Pertanyaan kedua kepada MK, benarkah UU Sistem Pemilu Terbuka bertentangan dengan konstitusi? Sesuai konstitusi, domain & wewenang MK adalah menilai apakah sebuah UU bertentangan dengan konstitusi, & bukan menetapkan UU mana yang paling tepat. Sistem Pemilu Tertutup atau Terbuka?" tambah dia.


Menurut SBY, jika MK tidak memiliki argumentasi kuat bahwa Sistem Pemilu Terbuka bertentangan dengan konstitusi sehingga diganti menjadi Tertutup, mayoritas rakyat akan sulit menerimanya.


"Ketiga, sesungguhnya penetapan UU tentang sistem pemilu berada di tangan Presiden & DPR, bukan di tangan MK. Mestinya Presiden & DPR punya suara tentang hal ini," katanya.


"Mayoritas partai politik telah sampaikan sikap menolak pengubahan sistem terbuka menjadi tertutup. Ini mesti didengar," imbuh SBY.


SBY menjelaskan, dalam menyusun DCS, Parpol & Caleg berasumsi sistem pemilu tidak diubah atau tetap menggunakan sistem terbuka.


Perubahan di tengah jalan oleh MK, bisa menimbulkan persoalan serius, terutama KPU dan Parpol harus siap kelola “krisis” akibat perubahan tersebut.


Untuk menghindari situasi “chaos” tersebut, SBY menyarankan untuk pemilu 2024 tetap menggunakan Sistem Proporsional Terbuka.


Lalu setelah pemilu 2024, Presiden dan DPR duduk bersama untuk menelaah sistem pemilu yang berlaku, untuk kemungkinan disempurnakan menjadi sistem yg lebih baik dengan mendengarkan suara rakyat.


Moeldoko mengajukan PK pada tanggal 3 Maret 2023. PK yang diajukan Moeldoko dan Jhoni Allen Marbun di MA untuk menguji putusan kasasi MA dengan Nomor Perkara: 487 K/TUN/2022, yang telah diputus pada tanggal 29 September 2022. [Democrazy/Tribun]

×
Berita Terbaru Update
close