Pembredelan Seni Yos Suprapto: Antara Kuasa Negara dan Kuasa Rupa -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pembredelan Seni Yos Suprapto: Antara Kuasa Negara dan Kuasa Rupa

Minggu, 22 Desember 2024 | Desember 22, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-12-22T04:57:37Z

Pembatalan mendadak pameran tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia adalah potret buram kebebasan berekspresi di negeri ini. Pameran bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan”, yang rencananya berlangsung pada 20 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025, berakhir tragis dengan pintu kaca digembok dan lampu dimatikan hanya beberapa menit sebelum pembukaan. Di tengah kerumunan tamu yang sudah hadir, langkah ini dinilai sebagai pembredelan seni yang berakar pada kritik sosial dalam karya-karya Yos. Namun, lebih dari sekadar insiden, kasus ini mengungkap dilema mendasar dalam hubungan antara seni, kuasa negara, dan posisi kurator, sebagaimana diulas Suwarno Wisetrotomo dalam disertasi yang menjadi bukunya Kuasa Rupa, Kuasa Negar (2021). Ironi mencuat ketika Wisetrotomo, yang mengadvokasi kebebasan seni dalam teorinya, justru menjadi salah satu aktor yang berperan dalam pembatalan ini.

Seni dalam Bayang-Bayang Kuasa Negara

Dalam Kuasa Rupa, Kuasa Negara, Suwarno Wisetrotomo menjabarkan kompleksitas posisi kurator sebagai mediator yang terjebak di antara kepentingan pasar, kekuasaan negara, dan kebebasan artistik. Kurator, menurutnya, sering kali harus menavigasi berbagai tekanan untuk menjaga keseimbangan antara idealisme seni dan kepentingan pragmatis. Namun, dalam kasus Yos Suprapto, posisi tersebut berubah menjadi alat kontrol negara yang membungkam ekspresi kritis.

Lima dari 30 lukisan Yos dianggap kontroversial karena menyentuh isu-isu sensitif, seperti konflik agraria dan kedaulatan pangan, yang mengkritik kebijakan pemerintah. Alih-alih mempertahankan ruang dialog yang seharusnya menjadi tugas kurator, permintaan untuk menurunkan karya-karya ini justru berujung pada pembatalan total pameran. Tindakan ini tidak hanya menodai kebebasan seni, tetapi juga menunjukkan bagaimana seni masih menjadi sasaran empuk bagi pengendalian politik.

Sejarah seni Indonesia mencatat, dari era Orde Baru hingga masa kini, seni sering menjadi sasaran sensor ketika bersinggungan dengan kritik sosial. Di masa lalu, pembredelan dilakukan secara terang-terangan oleh rezim otoriter. Kini, sensor itu hadir dalam bentuk yang lebih subtil, berselimut dalih “pertimbangan kuratorial” atau “standar institusional” atau pun “persoalan teknis”. Pembatalan pameran ini mencerminkan bagaimana kuasa negara tetap hadir, meski dengan wajah baru.

Ironi terbesar dalam kasus ini adalah peran Suwarno Wisetrotomo, seorang kurator yang sekaligus pengarang buku Kuasa Rupa, Kuasa Negara. Di dalam bukunya, ia menegaskan pentingnya peran kurator sebagai penjaga kebebasan seni, yang mampu melawan tekanan pasar dan kekuasaan negara. Namun, tindakannya meminta Yos menurunkan lima karya justru bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ia usung. Wisetrotomo beralasan bahwa karya-karya tersebut tidak sesuai dengan narasi besar pameran, tetapi argumen ini hanya mempertegas bias kuratorial yang tunduk pada tekanan eksternal.

Sebagai kurator, Wisetrotomo dihadapkan pada dilema besar. Apakah ia mempertahankan otonomi seni dengan risiko menyinggung kekuasaan, ataukah ia mengorbankan kebebasan artistik demi kenyamanan institusional? Keputusan untuk memilih jalan kedua tidak hanya mengikis kredibilitasnya sebagai kurator, tetapi juga memperlebar jurang antara seni dan ruang publik yang bebas.

Seni Sebagai Kritik Sosial

Lukisan Yos Suprapto, dengan tema agraria dan kedaulatan pangan, adalah contoh nyata bagaimana seni berfungsi sebagai medium kritik sosial. Seni bukan sekadar estetika, melainkan alat untuk menyuarakan ketidakadilan dan menginspirasi perubahan. Ketika karya-karya seperti ini dibungkam, pesan yang disampaikan adalah bahwa kritik terhadap kekuasaan tidak memiliki tempat, bahkan di ruang yang seharusnya bebas seperti Galeri Nasional.

Pembatalan ini juga mencerminkan ketidakmampuan institusi seni negara untuk menjadi ruang yang benar-benar bebas dari intervensi. Galeri Nasional, sebagai lembaga yang didanai publik, memiliki tanggung jawab moral untuk mendukung kebebasan berekspresi. Namun, dengan membatalkan pameran Yos, institusi ini justru menunjukkan bagaimana seni dapat dikompromikan demi menjaga harmoni semu dengan kekuasaan.

Membaca Kembali Peran Kurator

Kasus ini mengajarkan kita bahwa peran kurator tidaklah netral. Mereka adalah aktor yang menentukan, apakah seni akan menjadi ruang kebebasan atau justru alat legitimasi kekuasaan. Kurator memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan nilai-nilai artistik, meskipun harus menghadapi risiko tekanan eksternal. Dalam konteks ini, Suwarno Wisetrotomo perlu merefleksikan kembali posisinya: apakah ia berdiri untuk seni sebagai ruang kebebasan, ataukah ia menjadi bagian dari struktur yang membatasi seni?

Seni yang kritis adalah bagian integral dari demokrasi. Ia menyediakan ruang bagi dialog, refleksi, dan kritik terhadap kekuasaan. Pembredelan seni seperti yang dialami Yos Suprapto hanya menunjukkan lemahnya komitmen kita terhadap prinsip-prinsip demokrasi. Jika seni tidak lagi menjadi ruang yang aman untuk kritik, maka kita kehilangan salah satu pilar penting dari masyarakat yang bebas.

Pameran “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” seharusnya menjadi momentum untuk merefleksikan isu-isu penting tentang tanah, pangan, dan keadilan sosial. Namun, pembatalan ini mengubahnya menjadi simbol bagaimana seni masih dibelenggu oleh kuasa. Peristiwa ini menantang kita untuk merebut kembali seni sebagai ruang yang bebas dari kontrol dan manipulasi.

Pembatalan pameran Yos Suprapto bukan hanya soal lima lukisan yang dianggap kontroversial. Ini adalah pertarungan ideologis tentang apa arti seni dalam konteks demokrasi. Seni yang kritis harus dilindungi, bukan dibungkam. Kurator, institusi seni, dan masyarakat memiliki tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa seni tetap menjadi ruang yang bebas, tempat suara-suara kritis dapat tumbuh dan didengar.

Sebab, jika seni tunduk pada kuasa, maka ia kehilangan maknanya. Dan tanpa seni yang bebas, demokrasi kita kehilangan salah satu elemen terpentingnya.
 
Martin Dennise Silaban (Penulis dan Peneliti di SHEEP Indonesia Institute &Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM. Berbagai tulisannya sudah dimuat di media nasional maupun lokal seperti The Jakarta Post, Tempo, Mongabay, Solopos, SuaraMerdeka, GreenNetwork Asia, Mudabicara.id, rmoljawatengah.id, Kedaulatan Rakyat, dan Floresa.co) 

Oleh: Martin Dennise Silaban
Peneliti di SHEEP Indonesia Institute dan Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
×
Berita Terbaru Update
close