Piagam Madinah dan Piagam Jakarta: Membaca Ulang Peluang Indonesia Menjadi Negara Nomokrasi -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Piagam Madinah dan Piagam Jakarta: Membaca Ulang Peluang Indonesia Menjadi Negara Nomokrasi

Senin, 29 Mei 2023 | Mei 29, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-05-28T23:59:03Z

WANHEARTNEWS.COM -


Oleh Al Chaidar

Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh


Di kalangan Muslim Indonesia, diskursus tentang Piagam Madinah dan Negara Madinah, bukan barang asing. Di era Presiden Abdurrahman Wahid, diskursus tentang Negara Madinah itu kian merebak di kampus-kampus, kalangan gerakan Islam dan aktivis masjid. Tentang Negara Madinah ini, mungkin, hanya ada satu negara Islam yang paling ideal, yaitu Negara Madinah dengan Piagam Madinah-nya pada masa Rasulullah. Namun, untuk kebanyakan, Negeri Madinah ini hampir-hampir bagaikan "negeri dongeng" meski ada dalam sejarah.


Untuk menghindari "dongengisasi," maka ada baiknya diajukan contoh negara Islam lain di jantung Eropa: Spanyol zaman Islam (Islamic Spain). Negeri Muslim dan umat Muslim di Spanyol merupakan salah satu wilayah yang paling jauh dari jantung dunia Islam, tetapi sangat toleran. Bernard Lewis menunjukkan bahwa Islam yang lebih awal itu, ternyata cenderung lebih toleran dibanding Islam yang lebih belakangan. Pada masa Islam awal itu, banyak pergaulan sosial yang berlangsung dengan lancar antara kaum Muslim, Kristen, dan Yahudi. Meskipun menganut agama-agama yang berbeda, mereka membentuk sebuah masyarakat yang tunggal, di mana perkawanan antarpribadi, kemitraan dalam bisnis, hubungan guru-murid dalam kehidupan ilmu pengetahuan, dan bentuk-bentuk lain kegiatan bersama berlangsung normal dan bahkan sangat umum.


Kerja sama kultural ini tampak dalam banyak cara. Orang-orang Islam, Kristen, dan Yahudi hidup dalam suasana penuh peradaban, saling hormat, dan saling mengembangkan ilmu pengetahuan dan seni budaya. Tidak ada sedikit pun diskriminasi. Karena itu, masalah pluralisme adalah masalah bagaimana kaum Muslim mengadaptasikan diri mereka dengan dunia modern. Hal ini pasti akan melibatkan masalah-masalah bagaimana mereka memandang dan menilai sejarah Islam, dan bagaimana mereka melihat dan menilai perubahan dan keharusan membawa masuk nilai-nilai Islam yang normatif dan universal ke dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu.


Sejarah kaum Muslim, seperti halnya sejarah komunitas umat manusia manapun, selalu memiliki potensi untuk membuat kesalahan atau berbelok dari jalan yang benar. Selain karena truisme sederhana seperti yang dikatakan penyair Inggris Alexander Pope, yakni bahwa “berbuat salah itu manusiawi,” semua sejarah jelas dengan sendirinya adalah sejarah manusia, dan tidak ada seorang manusia biasa pun yang sakral dan suci.


Singkatnya, manusia pada dasarnya baik, tetapi ia juga lemah. Berkaitan dengan kelemahan ini, manusia memiliki potensi untuk mengubah dirinya menjadi seorang tiran, kapan saja ia memandang dirinya serba berkecukupan dan tidak lagi membutuhkan manusia-manusia lain. Terhadap prinsip ini, harus juga ditambahkan ajaran Islam yang sangat terkenal bahwa pada mulanya umat manusia adalah satu dan bahwa semua orang pada dasarnya sederajat. Dalam hal ini, kaum Muslim klasik seperti di Spanyol ini telah berhasil sepenuhnya menginternalisasikan konsepsi mengenai manusia yang positif dan optimistik seperti disebutkan di atas. Sebuah konsepsi yang kemudian menjadikan mereka komunitas yang demikian kosmopolit dan universalisnya, sehingga mereka bersedia belajar dan menerima segala yang bernilai dari pengalaman-pengalaman komunitas lain.


Demikianlah, peran kaum Muslim yang awal sebagai salah satu di antara beberapa komunitas yang menginternasionalisasi ilmu pengetahuan. Dalam setiap peradaban, orang-orang tertentu meneliti pada alam itu sendiri sebab-sebab perubahan yang menggejala, bukan pada kemauan manusia atau luar manusia.Meskipun demikian, sebelum orang-orang Arab mewarisi filsafat alam Yunani dan alkeni Cina, kemudian meneruskannya ke Barat, tidak ada badan tunggal ilmu pengetahuan alam yang diteruskan dari satu peradaban ke peradaban lain.


Sebaliknya, dalam setiap peradaban, penelitian tentang alam mengikuti jalan sendiri-sendiri. Para filsuf Yunani dan Cina memberi penjelasan yang berbeda tentang dunia fisik yang sama. Sebagian besar hasil usaha itu pertama-tama diserap oleh Islam, yang dari tahun 750 M hingga akhir Zaman Tengah terbentang dari Spanyol hingga Turkestan. Orang-orang Arab menyatupadukan badan ilmu pengetahuan yang luas itu dan menambahnya.


Dalam kesepakatan lain, hal senada yang juga dikemukakan demikian: adalah kelebihan orang-orang Arab bahwa, meskipun mereka merupakan para pemenang secara militer dan politik, mereka tidak memandang peradaban negeri-negeri yang mereka taklukkan dengan sikap menghina, bahkan Islam menghormati pluralitas dan menghargai kultur masyarakat yang ada. Sebagai ilustrasi, segera setelah diketemukan, kekayaan kebudayaan Syiria, Persia, dan Hindu mereka salin ke dalam bahasa Arab. Para khalifah, gubernur, dan tokoh-tokoh yang lain menyantuni para sarjana yang melakukan tugas penerjemahan, sehingga kumpulan ilmu bukan-Islam (non-islamic learning) yang luas dapat diperoleh dalam bahasa Arab. Semangat pluralisme dikembangkan dan toleransi ditegakkan dengan khasanah intelektual yang diperkaya.


Dalam konteks Indonesia ketika negara ini berada di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, di mana berbagai kemajemukan kini mengalami pengeroposan dan kerusuhan merebak, dari Ambon, Maluku, Mataram sampai kawasan lain, kalangan Darul Islam tidak perlu lagi mempersoalkan pluralitas pengikut Kristen, dan Muslim serta Yahudi, tiga agama Ibrahim itu. Yang dibutuhkan adalah leadership (kepemimpinan) Gus Dur untuk mengatasi krisis ekonomi, sosial dan politik-ideologis, dengan mendayagunakan pluralitas (kemajemukan) itu, jangan sampai pemerintahannya mengalami breakdown of economic, political and social-cultural policy making, yang justru bisa menimbulkan konflik horisontal pada tingkat menengah ke bawah. 


Negara Nomokrasi

Pada aras ini, prinsip dan nilai-nilai Negara Madinah (Piagam Madinah) yang sering diartikulasikan Gus Dur (dan Cak Nurcholish Madjid), semestinya dipraksiskan dan disosialisasikan pemerintahan Gus Dur agar salah pengertian dan phobia tentang Islam di kalangan non-Muslim bisa diminimalisasikan.  Mudah-mudahan apa yang dikemukakan di sini bisa sedikit mereduksi kengerian akan bayangan sistem Negara Madinah (Islam) di Indonesia, di mana waktu itu para tokoh Muslim menjadi pemimpinnya yakni Gus Dur, Amien Rais (Ketua MPR) dan Akbar Tanjung (Ketua DPR). 


Pada level wacana, Phobia Islam sebaiknya disikapi dengan pemahaman ilmu pengetahuan, akal budi dan logika. Islam menjamin pluralisme. Bukankah Islam rahmatan lil alamin? Di bawah era Presiden Abdurrahman Wahid, ternyata gagasan "jalan ketiga” Anthony Giddens menjadi wacana (discourse) memikat di kalangan kaum pro-demokrasi, kalangan santri dan aktivis Islam. Politik “jalan ketiga” adalah representasi dari pembaharuan demokrasi sosial. Politik “jalan ketiga”, demikian Giddens, diperlukan karena masalah-masalah yang berkaitan dengan perbedaan antara garis kiri dan garis kanan dalam politik sudah begitu besar. Saat ini pandangan (mengenai dunia) dari elite kiri yang lama sudah tidak bisa dipakai lagi. Sementara pandangan kanan yang baru juga tidak memadai karena mengandung banyak kontradiksi.


"Jalan Ketiga"

Pandangan politik aliran tengah sendiri juga telah menjadi begitu radikal hingga tidak lagi mampu menampung politik kiri maupun kanan. Diperlukan sebuah wahana baru untuk menampung kiri moderat (hasil pembaruan kanan) dan kiri tengah (hasil pembaruan kiri) agar politik emansipatoris dan keadilan sosial tetap menjadi pusat perhatian. Menanggapi gagasan brilian Giddens dalam konteks masyarakat Barat itu, Profesor Chibli Mallat, ahli politik Lebanon, mengatakan konsepsi "jalan ketiga" Anthony Giddens  sebagai konsepsi politik yang baru. Namun Giddens dinilai telah mengabaikan negara-negara non-Barat, khususnya negara-negara Muslim. Sejak dasawarsa 1970-an dan 1980-an, slogan "jalan ketiga" Giddens itu sudah berkumandang di negara-negara Muslim. Revolusi Iran-lah yang mencanangkannya dengan menegaskan bahwa "jalan ketiga" adalah Islam, yang sistem kemasyarakatan bukan model Barat (kanan) atau model Soviet (kiri), tidak Blok Barat maupun Blok Timur (laa syarqiyah wa laa gharbiyah). 


Profesor Mallat mencatat, dalam sejarah abad ke-XX, "jalan ketiga" adalah nama lain dari Nazisme Jerman dan Fasisme Italia, yang mencoba memberi alternatif baru terhadap ideologi komunisme (Uni Soviet) dan kapitalisme (Amerika Serikat). Mallat kemudian mengusulkan agar para penganut "jalan ketiga" lebih menekankan nilai-nilai peradaban yang mampu menghilangkan berbagai ketimpangan struktural. Dengan menyimak gagasan Giddens  dan tanggapan Mallat itu, saya kira, ada baiknya para inteligensia Muslim kini harus mencermati “jalan ketiga” yang kontekstual dengan Indonesia, di mana pluralitas (kemajemukan) sangatlah sarat kompleksitas. 

Tentang Islam dalam hubungannya dengan “jalan ketiga” Giddens itu, saya ingin meminjam diskursus Bernard Lewis yang menyatakan bahwa Islam yang lebih awal di era Cordova Spanyol, sangatlah toleran.  Saya kira, di Indonesia Islam yang lebih awal itu datang dengan jalan damai melalui perdagangan. Dan sebagaimana di zaman Islam Cordova (Spanyol), di Indonesia pun Islam awal ini ternyata cenderung lebih toleran dibanding Islam yang lebih belakangan. Pada masa Islam awal itu, banyak pergaulan sosial yang berlangsung dengan lancar antara kaum Muslim, Kristen, Hindu, Buddha dan Cina. Meskipun menganut agama-agama yang berbeda, mereka membentuk sebuah masyarakat yang beradab, di mana perkawanan antarpribadi, kemitraan dalam bisnis, hubungan guru-murid dalam kehidupan ilmu pengetahuan, dan bentuk-bentuk lain kegiatan bersama berlangsung normal dan bahkan sangat umum.


Kerjasama kultural ini, seperti dicatat Anthony Reid,  tampak dalam banyak cara orang-orang Islam, Hindu-Budha dan Kristen menjalankan kehidupan dan kebudayaan. Bahkan di era pergerakan nasional untuk mewujudkan kemerdekaan, kaum pluralis ini berjuang dalam spirit Sumpah Pemuda. Dan sampai era demokrasi parlementer Bung Karno pada 1950-an, kaum Muslim dan non-Muslim itu hidup dalam suasana penuh peradaban, saling hormat, dan saling mengembangkan ilmu pengetahuan dan seni budaya. Tidak ada sedikit pun diskriminasi, karena pembangunan bangsa dan karakternya (nation and character building) berjalan wajar. Karena itu, masalah pluralisme adalah masalah bagaimana kaum Muslim mengadaptasikan diri mereka dengan dunia modern, yang sampai kurun 1950-an itu dijamin oleh konstitusi. Pada kurun waktu itu Islam menghormati pluralitas dan multikulturalisme, menghargai kultur masyarakat yang ada. Semangat pluralisme dan multikulturalisme dikembangkan dan toleransi ditegakkan dengan kasanah intelektual yang diperkaya.


Akan tetapi, di bawah Orde Baru Soeharto, semua itu mengalami keretakan: state building (pembangunan negara) telah melebihi dan menghancurkan nation building (pembangunan bangsa). Negara kian represif dan hegemonik, melibas masyarakat di seluruh etnis, kelas, dan lapisan. Politik belah bambu dan regimentasi Orde Baru Soeharto meluluhlantakkan spirit kebangsaan dan kemanusiaan. Karena itu, para intelektual dan elite Islam harus mencari jalan keluar dari krisis-krisis sosial, ekonomi, politik dan ideologi dewasa ini, agar reformasi tidak mengalami stagnasi, agar bangsa ini tidak mengalami disintegrasi. Giddens menyebut politik “jalan ketiga” dengan menekankan “tak ada hak tanpa tanggung jawab”. Di dalam Islam era Rasululah, “tak ada hak tanpa tanggung jawab” itu teraksentuasikan dalam Piagam Madinah, yang menjamin kebebasan, persamaan dan keadilan. Di era Islam Cordova, Spanyol, spirit dan konsepsi “Piagam Madinah” itu kemudian menjadikan mereka komunitas yang pluralistik, kosmopolit dan universal, sehingga mereka bersedia belajar dan menerima segala yang bernilai dari pengalaman-pengalaman komunitas lain.


* Good Governance dan Supremasi Hukum*

Dalam konteks Indonesia era Presiden Abdurrahman Wahid, selain sumber non-Islam, maka Islam seyogyanya menjadi sumber inspirasi dan nilai untuk membentuk good governance dan supremasi hukum, yang merupakan suatu keharusan. Ini signifikan untuk mewujudkan apa yang disebut Anthony Giddens (2013) sebagai politik “jalan ketiga”, yang menekankan nilai-nilai peradaban untuk menghapuskan struktur ketimpangan. Tegaknya negara hukum dan terwujudnya good governance ini akan melandasi tegaknya demokrasi, politik emansipatoris dan keadilan sosial guna menjamin pluralitas (kemajemukan) yang kini dalam kerawanan.


Sebagai sebuah sistem (politik) yang bersifat partisipatif, yang mengesahkan persamaan hak di antara sesama manusia, maka demokrasi mungkin merupakan struktur "terbaik" yang pernah ada. Dan tidaklah mengherankan jika pengalaman dan eksperimen demokrasi di zaman Yunani kuno itu menjadi model ideal bagi para pemikir dan teoritikus politik di zaman modern ini. Akan tetapi, ada satu konsep lagi yang pantas dijadikan wacana dan didiskusikan idealitasnya bagi Indonesia masa depan, yaitu Negara Madinah. Negara Madinah ini merupakan alternatif dalam menghadapi keganasan kapitalisme di tingkat global, regional dan nasional yang telah menimbulkan dehumanisasi, yang oleh Peter Berger disebut piramida kurban manusia yang amat dahsyat atau disebut Herbert Marcuse telah membikin umat manusia menjadi “one dimensional man”, manusia satu dimensi.*

×
Berita Terbaru Update
close