Mengantisipasi Kemungkinan Serangan Teror di Bulan Juni 2023 -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mengantisipasi Kemungkinan Serangan Teror di Bulan Juni 2023

Senin, 29 Mei 2023 | Mei 29, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-05-28T23:59:36Z

WANHEARTNEWS.COM -


Oleh Al Chaidar Abdurrahman Puteh 

~Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh

Indonesia masih berada di bawah ancaman riil terorisme. Dalam istilah Agus Surya Bakti (2014: 17), Indonesia sedang mengalami darurat terorisme. Insiden perebutan dan penyanderaan polisi di Mako Brimob tanggal 8 hingga 10 Mei 2018 di Depok adalah awal revolusi berdarah ini dimulai. Selanjutnya, serangan para napi terorisme tersebut juga mengeluarkan sebuah “seruan jihad” ke berbagai penjuru tanah air pada tanggal 9 Mei. Seruan ini menggema ke berbagai wilayah di mana Jamaah Ansharu Daulah (JAD) beroperasi. Bahkan seruan ini membangkitkan banyak sel tidur teroris di berbagai daerah yang berafiliasi ke ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah). 

Efek gema teror ini menjangkau hingga ke Surabaya dan Sidoarjo, Tanjung Balai Asahan, dan Riau serta Palembang. Hanya berselang hari, ratusan orang yang terafiliasi dengan ISIS ini secara struktural mengkonsolidasi diri dan datang menyerbu polisi di berbagai lokasi. Kini gema ini terdengar lagi di beberapa tempat dimana para tersangka teroris ditangkap di Malang dan Lampung.



Pada tanggal 13 Mei terjadi ledakan dahsyat di tiga gereja di Surabaya yang menewaskan 12 jemaat yang sedang melakukan misa suci menyambut kenaikan Isa al Masih. Ledakan bom bunih diri keluarga ini membawa serta anak-anak mereka dalam aksi serangan berdarah yang tak terperikan. Di Sidoarjo satu keluarga juga meledakkan diri secara prematur di sebuah rusun yang mereka tinggali. 

Serangan berikutnya terjadi di markas polisi di Surabaya pada tanggal 14 Mei yang menewaskan satu keluarga dan satu anaknya sempat terselamatkan oleh polisi yang iba terhadap anak perempuan yang menjadi korban dari bom durjana yang dibawa keluarganya dengan menggunakan motor. Serangan fatalisme ini didorong oleh motif teologis: jihad untuk menyongsong kehidupan akhirat di surga. Serangan mengejutkan yang juga mengajak serta kelurga ini sangat mengherankan semua ulama, ilmuwan, aparat dan orang awam. Mengapa anak-anak yang masih lucu dan lugu dilibatkan dalam aksi brutal dan sadis ini? Mengapa untuk menuju surga harus dengan menghadirkan neraka bagi anak-anak yang tak mengerti tentang permusuhan ini? Sampai kapan kesadaran eskatologis ini berakhir di bumi Indonesia yang diberkahi ini?

Banyak pertanyaan sulit hadir ke hadapan ilmuwan untuk dijawab secara akurat. Ilmuwan hanya mampu memprediksi secara hipotesis. Serangan ini kemungkinan tidak akan berhenti, meskipun di bulan puasa yang penuh rahmat dan ampunan. Dalam teologi kaum Wahabi Takfiri, bulan Ramadhan adalah bulan pembakaran. Ramadhan adalah bulan peledakan, pembakaran target yang bukan hanya pembakaran dosa-dosa, melainkan juga pembakaran kantor-kantor atau tempat-tempat yang dianggap sebagai sebagai target perang.

Pada bulan Juni 2023  nanti kemungkinan akan ada serangan-serangan yang ditujukan ke tiga target yang sudah ada dalam alam kesadaran teologis mereka. Tiga target tersebut adalah: (1) thoghut, yakni polisi (dan mungkin juga tentara) di semua markas mereka yang tersebar di seluruh tanah air; (2) kafirun, yaitu semua kalangan non-muslim yang beribadah di gereja-gereja, biara-biara, sinagog-sinagog dan masjid-masjid dhiror yang dipersepsikan sebagai tempat-tempat sesat; (3) fasikun, yaitu semua orang yang meskipun muslim namun masih bergelimang dengan keramaian musik, kampanye partai-partai politik dan mereka yang masih berbelanja di sentra-sentra wisata kapitalis dan liberal. 

Serangan di bulan Juni nanti  juga kemungkinan akan dilakukan pada waktu-waktu di mana ketiga target tersebut lemah atau lengah. Dalam studi klasik antropologi, terorisme adalah 'violence against nonmilitary or civilian targets that is designed to create fear outside the immediate circle of victims, in order to promote a political objective' (Miskel, 2010: 1007). Target-target non militer atau sipil inilah yang menjadi definisi terorisme yang paling kuat yang tidak diketahui oleh para pembuat legislagi RUU Anti Teror yang baru yang entah kapan akan disahkan oleh lembaga legislatif. Lembaga syura thoughut yang dipersepsikan oleh kalangan teroris berideologi Wahabi Takfiri ini sebagai DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) mungkin juga akan diserang. 

Selama ini, banyak ilmuwan masih yakin bahwa terorisme adalah “a legitimate form of resistance against an occupaying powers” dan kaum teroris membalas secara setimpal terhadap anak-anak dan kaum muslim yang menjadi korban atas keganasan occupaying powers (negara-negara penjajah) seperti Amerika, Syiah dan Israel. Mereka menggunakan legitimasi agama di mana banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist yang menyuruh mereka membalas mereka secara setimpal di mana banyak anak-anak menjadi korban di Suriah, Iraq, Palestina dan negeri-negeri muslim lainnya di mana kekuasaan penjajah bercokol secara kasat mata. 


Setimpalkah jika untuk membalas pembunuhan terhadap anak-anak di Palestina, Suriah, Irak atau Afghanistan dengan cara membunuh anak kandung sendiri dalam aksi jihad yang melarang membawa serta anak-anak dalam kancah perang? Indonesia adalah kancah perang yang tak terdeklarasikan sebelumnya, hanya klaim sepihak yang pesan jihadnya pun tak pernah tersampaikan ke publik awam sekali pun. Adakah kaum pengimbang yang mampu menjawab teologi kematian melalui jalan pembakaran dosa ini? Pemerintah terlihat tidak memiliki imajinasi bagaimana harus melawan ajaran kaum Takfiri yang sudah sangat brutal ini. Dana dan sumberdaya sudah dihabiskan untuk program pencegahan dan perlawanan terhadap teror, namun korban terus berjatuhan. Pemerintah musti mengambil langkah apa pun yang dianggap perlu untuk mengakhiri “operasi pembakaran” di bulan yang penuh berkah dan maghfirah ini, bahkam bila perlu mengajukan perjanjian damai dengan para teroris ini.

Dari pengakuan para tersangka tindak pidana terorisme Bom Bali 12 Oktober 2002, jelas terlihat sebuah ekspresi emosi keagamaan. Ali Gufron, salah seorang tersangka teror Bom Bali, bahkan menyatakan sikapnya dengan tegas dan sederhana: “… membalas kezaliman dan kesewenangan Amerika Serikat dan sekutunya terhadap kaum Muslim dengan maksud agar mereka menghentikan kezaliman-nya.”  Ada suatu nilai yang bekerja dan mendikte jalan pikiran mereka. Ali Ghufron misalnya, menyatakan bahwa pemboman itu adalah “aksi pengabdian kepada Tuhan.” Maka Ali Ghufron, Imam Samudera, Amrozi, dan kelompoknya merasakan suatu delusion of grandeur, perasaan mempunyai atau mewakili atau mendapatkan titah dan menjadi bagian dari unsur kebesaran yang berkeyakin-an dirinya mengemban misi khusus dari Tuhan. 

Kaum teroris senantiasa merasa diri sebagai “pejuang Tuhan” yang ter-panggil untuk bertindak atas nama Tuhan dan agama, menjadi “tangan Tuhan” di muka bumi untuk merealisasikan “kemurkaan-Nya” dalam sebentuk resis-tensi, pemboman. Akibat dari interpretasi dan ekspresi emosi keagamaan yang delusif ini, maka tragedi pun terjadi dan sejumlah besar spekulasi pun muncul di tengah-tengah publik.

Tragedi serangkaian serangan bom kaum teroris di Bali, Makassar, Jakarta dan lain tempat di Indonesia telah memunculkan serangkaian spekulasi dari yang apologis hingga yang a-priori. Spekulasi pertama adalah tentang siapa pelaku serangan teror yang sangat terencana dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan teknikal yang canggih. Pelakunya diidentifikasi secara arbitrer sebagai anti-Amerika Serikat, anti-Israel, anti-demokrasi, anti kekuatan ekonomi kapitalis, dan militer global. Spekulasi kedua adalah tentang motif kaum teroris dalam melakukan tindakan penghancuran berlebihan terhadap tempat-tempat di mana kekuatan ekonomi, politik, dan militer Amerika Serikat berada. Spekulasi ketiga adalah tentang sasaran-sasaran apa lagi yang akan dituju terhadap Amerika Serikat dan Israel.

Pelakunya secara allegedly diidentifikasikan sebagai kaum fundamentalis Islam yang saat ini menjadi musuh bebuyutan Amerika Serikat, Osama bin Laden yang saat ini bersembunyi di Afghanistan. Kalaupun bukan Osama, masyarakat dunia berasumsi bahwa pelakunya adalah orang-orang lain dari kalangan fundamentalis Islam yang memiliki hubungan doktrinal dengan jaringan Al Qaedah.

Sebagaimana diketahui, kaum fundamentalis Islam sangat berkarakter anti-Amerika Serikat, anti-Israel, anti-demokrasi, anti kapitalis, dan militer global. Motifnya, sejauh yang bisa dianalisa dari karakter politik luar negeri Amerika Serikat selama ini, adalah kebencian terhadap sikap Amerika Serikat yang sekular, anti-Islam dan yang terlalu posesif dan over-protective terhadap Israel. Sedangkan spekulasi tentang sasaran berikut-nya, adalah respon biasa dari hilangnya rasa aman dan bergentayangannya rasa takut rakyat Amerika Serikat yang membutuhkan jawaban segera terhadap apa yang mungkin terjadi.

Spekulasi ini wajar sekali terbentuk karena kejadian ini begitu tiba-tiba, massive dan serempak dengan daya hancur yang sangat luar biasa. Spekulasi ini juga wajar karena telah menimbulkan amarah yang sangat besar rakyat dan pemimpin Amerika Serikat yang sedang merasa nyaman hidup dalam guyubnya modernitas, sekularisme dan kesejahteraan ekonomi tiba-tiba harus menghadapi mimpi buruk yang meyakitkan dan memalukan ini. Rakyat Amerika Serikat bukan kali ini saja menghadapi serangan kaum teroris. Bagi kaum fundamentalis dan radikal Islam —yang lebih dikenal awam dengan istilah ‘kaum teroris’—, melawan Amerika Serikat adalah melaksanakan kewajiban personal, sebuah jihad global melawan Yahudi dan Nasrani. Maka, Amerika Serikat pun telah menempatkan teroris Muslim sebagai musuh sejak tahun 1979 (yang memunculkan nama “Ayatollah Khomeini” sebagai nama bagi musuh yang dipersepsikan itu) pada saat terjadinya Revolusi Iran dan memuncak pada peristiwa krisis teluk tahun 1990 (di mana muncul nama “Saddam Hussein” sebagai musuh).

Dengan tertangkapnya para tersangka pelaku tindak terorisme di Indonesia dan di beberapa negara Asia Tenggara dan bahkan di Amerika dan Eropa, semakin memperlihatkan kepada kita bahwa jaringan organisasi kaum teroris sangat luas. Meski secara moral dan diplomasi internasional teroris diserang dengan “perang wacana” yang memojokkan mereka sebagai “kaum pengecut”, “kaum tak berperikemanusiaan”, “kaum yang berbahagia di atas penderitaan orang lain”, serta “kaum yang bertendensi penyakit jiwa”, namun kaum teroris terus-menerus muncul dalam peta politik Indonesia dan dunia hingga kini untuk menyampaikan pesan-pesan yang sangat sulit diinterpretasikan. Begitu tersembunyinya musuh yang satu ini, telah menimbulkan kesan misteri dan ketakutan psikologis tersendiri. Bagi rakyat Amerika, teroris adalah hantu (spectre) lain yang pernah dihadapi Amerika Serikat setelah hantu komunisme, sebentuk musuh ideologi, sekaligus musuh spiritual baru sebagaimana pernah diper-ingatkan oleh Huntington dalam The Clash of Civilization. Douglas E. Streusand bahkan berani menyebut “that specter is Islam”, yang kemudian diidentifikasi secara awam oleh publik Amerika Serikat sebagai “green peril” (bahaya hijau). Dan, dengan peristiwa serangan terhadap WTC dan Pentagon dua tahun silam, nama Osama bin Laden muncul sebagai “musuh” untuk mengembalikan kepercayaan dari publik Amerika Serikat terhadap pemerintahnya dalam menangani terorisme dari kaum muslim.

Untuk konteks Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, problem terorisme ini memunculkan banyak dilema: antara menjaga perasaan umat Islam dan law enforcement yang mesti ditegakkan. Lebih dari itu, ada sebuah kenyataan bahwa serangan brutal telah terjadi dan musuh mesti didefinisikan untuk kemudian diambil langkah-langkah selanjutnya sebelum mengeksekusi ‘penjahat’ yang walaupun terus bersembunyi di balik simbol-simbol dan alasan agama. Untuk mengetahui konteks teoritis kemunculan “teroris” ini, perlu disimak perkembangan pemikiran fundamentalisme dalam Islam.

Untuk memahami gerakan teroris yang terjadi akhir-akhir ini di Solo dan Jakarta, kita harus menilik beberapa kejadian teror yang melibatkan kalangan radikal dan fundamentalis Islam sejak tahun 1999. Gerakan Jamaah Islamiyah yang pada awalnya adalah Darul Islam atau Negara Islam Indonesia, membuat sebuah doktrin gerakan tersebut yang disebut dengan "Doktrin Hambali". Doktrin ini memerintahkan serangan pada bulan syawal terhadap orang-orang atau lembaga yang dianggap sebagai hegemoni bukan muslim. Jika hari raya Idul Fitri secara kebutuhan berdekatan dengan tanggal perayaan nasional 17 Agustus, maka serangan akan ditujukan kepada aparat atau orang-orang yang dianggap sebagai wakil dari momen nasional. Maka, polisi pun diserang pada tanggal 17, 18 dan 19 Agustus 2012 di Solo. Doktrin ini mulai dipraktekkan sejak tahun 2000 dengan menyerang simbol-simbol dan lembaga yang diwakili oleh simbol yang bukan muslim. Pada Tahun 2000, perayaan Idul Fitri kebetulan berdekatan dengan Hari natal, maka teroris pun menyerang gereja di 17 kota pada malam Natal. 

Teroris dengan muatan target lokal bukan berarti sudah meninggalkan target tradisional mereka, yaitu Amerika Serikat dan sekutu Baratnya. Serangan teroris 11 September 2001, dan pemboman teroris berikutnya di Casablanca, Istanbul, Riyadh, Madrid, London, Mumbai dan tempat lain telah meningkatkan kekhawatiran tentang ancaman teroris dan panggilan baru untuk lebih memahami akar atau penyebab terorisme. Secara historis, ada pandangan berbeda tentang pertanyaan ini, dan terorisme telah dinyatakan disebabkan oleh meningkatnya populasi, meningkatnya kemiskinan, urbanisasi yang cepat, menurunnya otoritas globalisasi, tradisional, dll. Terorisme menunjukkan adanya perspektif yang berbeda, yang mencerminkan filsafat, agama, politik dan perbedaan lainnya, tidak hanya akademik, karena mereka dapat mempengaruhi pemahaman communitas Darul Islam baik tentang ancaman, dan tanggapan terhadap terorisme. Terorisme terlalu kompleks dan beragam dan berbicara fenomena penyebab dengan mudah. Setiap manifestasi dari terorisme harus dipahami dalam konteks dan kondisi yang mendasari, faktor yang berkontribusi terhadap risiko terorisme dan bahkan mungkin penyebab munculnya tindakan tertentu. Penyebab (nyata dan dirasakan) dalam kasus terorisme, maka salah mengatasi penyebab bisa menjadi kontraproduktif. 

Respon terhadap munculnya ancaman akan terpengaruh oleh paham penyebab terorisme, termasuk kondisi yang menciptakan dukungan terhadap terorisme dan bantuan perekrutan. Sementara itu beberapa tanggapan umumnya tidak tergantung dari penyebab, mempertimbangkan integrasi semua kondisi dan faktor yang berhubungan dengan risiko terorisme di negara tertentu, hingga ke konteks regional dan global menawarkan pendekatan, lebih kaya lebih komprehensif untuk kontraterorisme. Sebagai konsekuensinya, communitas JI dan JAD melakukan segala kemungkinan untuk memahami alasan terorisme dapat dilakukan, termasuk serangan oleh Jihadist global di berbagai negara dan akibatnya. Serangan teroris 11 September 2001, dan pemboman teroris berikutnya di Casablanca, Istanbul, Riyadh, Madrid, London, Mumbai dan tempat lain telah meningkat kekhawatiran tentang ancaman teroris dan panggilan baru untuk lebih memahami akar atau penyebab terorisme. Secara historis dan hari ini, ada pandangan berbeda pada pertanyaan ini, yang mencerminkan filsafat, agama, perbedaan politik dan lainnya. *

×
Berita Terbaru Update
close