Ada Operasi Memoles Citra Jokowi Jelang Lengser? -->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ada Operasi Memoles Citra Jokowi Jelang Lengser?

Kamis, 17 Oktober 2024 | Oktober 17, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-10-17T10:20:29Z

JAKARTA- Isu adanya operasi untuk memoles citra Joko Widodo (Jokowi) menyeruak belakangan ini, meski pemerintah  sendiri membantah adanya upaya kampanye—baik melalui media massa maupun media sosial—untuk ‘memoles citra’ Presiden Jokowi di akhir masa jabatannya. 

Namun hal itu bertolak belakang dengan pengakuan sejumlah media bahwa pemerintah menawarkan ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk menulis berita kesuksesan pemerintah Jokowi.

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Prabu Revolusi, mengaku setiap kerja sama antara pemerintah dengan media terkait pemberitaan pasti melewati surat menyurat atau dengan dokumen resmi.

”Jika memang ditawari, coba ada suratnya enggak? Tidak mungkin Kominfo membuat kerja sama tanpa dokumen, ini good corporate governance yang kami jaga. Saya mau tahu malahan, karena selama saya ada di Kominfo enggak pernah ada penawaran miliaran rupiah sama media,” kata Prabu diwartakan BBC News Indonesia, Senin (14/10).

Walau demikian, Prabu mengakui bahwa memang ada kerja sama antara pemerintah dan sejumlah media untuk mensosialisasikan beragam capaian pemerintah ke publik. Hal itu sudah terjalin sejak lama dan terdokumentasi.

Pernyataan itu berbeda dengan keterangan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Setri Yasra. Dia mengungkapkan pihaknya sempat mendapat tawaran kontrak kerja sama pemberitaan yang berisi klaim keberhasilan Jokowi dari Kemenkominfo, namun dia enggan mengungkapkan detail tawaran itu.

Setri mengatakan tawaran itu lalu ditolak karena pemerintah meminta agar kontennya ditulis dalam bentuk berita organik, bukan sebagai iklan.

Secara terpisah, seorang petinggi Tempo, seperti diwartakan BBC News Indonesia, mengaku bahwa mereka mendapatkan tawaran kerja sama publikasi 100 halaman dengan nilai kontrak mencapai miliaran rupiah, plus mendapatkan akses untuk wawancara Presiden Jokowi.

Sejumlah media juga turut dimintai konfirmasinya terkait tawaran itu. Mereka mengakui adanya kerja sama pemberitaan dengan pemerintah senilai ratusan juta tanpa proposal tertulis untuk memberitakan kesuksesan pemerintahan Jokowi.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai apa yang dialami Tempo dan media lainnya merupakan upaya dari pemerintah untuk menyetir dan membungkam media massa dengan uang.

“Mereka ingin mengkooptasi, mempengaruhi, dan memanipulasi media,” kata Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida.

Selain di media massa, upaya mengampanyekan capaian Jokowi juga disebut berkumandang di media sosial.

Lembaga Data & Democracy Research Hub menemukan adanya “orkestrasi atau operasi manipulasi” yang sangat masif di X (dulu bernama Twitter) untuk mengubah citra Jokowi yang mayoritas negatif menjadi positif.

Hal itu terbaca dari penggunaan tagar: #terimakasihjokowi, #TerimaKasihPresidenJokowi, #SelamatBertugasPrabowo, #10thnJokowiPrabowo, dan #KerjaNyataJokowi.

“Di akhir masa jabatannya, percakapan tentang Jokowi lebih banyak negatif, mulai dari peringatan darurat, Fufufafa, politik dinasti hingga IKN. Jadi ini seperti ada upaya membersihkan nama Jokowi di saat-saat terakhirnya,” kata Ika Idris, Co-director Data & Democracy Research Hub.

Analisis Drone Emprit—pemantau percakapan di sosial media—mencatat terdapat lebih dari 175 juta interaksi dan 25.000 mention yang melibatkan 4.846 akun di berbagai platform, membahas keberhasilan pemerintahan Jokowi baik dari sektor ekonomi hingga infrastruktur.

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Prabu Revolusi, membantah temuan itu.

”Yang mencintai Pak Jokowi itu banyak loh. Kenapa sih harus meragukan saat tiba-tiba ada begitu banyak orang yang berterima kasih pada Jokowi? Terlalu dipaksakan untuk berpikir bahwa ini ada orkestrasi,” katanya.

‘Tawaran kontrak miliaran rupiah‘

Majalah Tempo mengeluarkan laporan utama berjudul ‘Operasi Memoles Citra’.

Dalam laporan ini Tempo menyampaikan bahwa, ”Menjelang Jokowi lengser, keluar instruksi mengkampanyekan keberhasilan pemerintah. Ada kontrak miliaran rupiah ke media massa.”

Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Setri Yasra, mengungkapkan pihaknya sempat mendapatkan tawaran kontrak kerja sama pemberitaan Kemenkominfo, yang berisi klaim keberhasilan Jokowi.

Menurut Setri, mulanya penawaran disampaikan secara lisan pada sekitar awal September 2024. Karena mengira kontrak kerja sama ini ditayangkan dalam bentuk iklan, tim bisnis pun menindaklanjuti tawaran tersebut, ujarnya.

“Tepatnya kalau enggak salah 6 September. Seminggu kemudian tim bisnis mencoba membawa proposal. Dalam pertemuan itu, diminta bukan advertorial. Ini terbit organik, terbit di edisi Senin,” tutur Setri kepada BBC News Indonesia.

“Oleh tim [bisnis dijawab] ini: Enggak mungkin, Pak. Enggak bisa. Karena enggak mungkin Tempo bisa dipesan-pesan. Jadi sudah kepastian penolakan [tawaran kontrak kerja sama] itu sudah sepekan sejak 6 September itu,” lanjutnya.

Setri menambahkan, Tempo menolak lantaran melanggar kode etik. Sebab seharusnya ada garis api atau pembatasan yang tegas antara iklan dan berita.

Kendati begitu ia enggan mengungkapkan detail tawaran kontrak tersebut. Setri hanya mengatakan, penawaran itu ditindaklanjuti oleh tim bisnis Tempo.

Secara terpisah, seorang petinggi Tempo mengonfirmasi bahwa mereka mendapatkan tawaran kerja sama penayangan 100 halaman yang diminta tayang menjelang 20 Oktober 2024—peralihan kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo.

Tawaran itu, katanya, memiliki nilai kontrak mencapai miliaran rupiah plus akses untuk wawancara Presiden Jokowi. “Atensinya itu: sebut dong soal infrastruktur, soal irigasi. Pesan begitu ke kami,” ucap petinggi Tempo itu.

Di sisi lain, menurut Setri, redaksi tengah menggarap liputan mengenai indikasi orkestrasi pencitraan Jokowi. Tapi ia menegaskan, dalam kerja jurnalistik Tempo, bagian iklan dan redaksi bekerja dalam koridor masing-masing.

Selain Tempo, sejumlah media juga telah dikonfirmasi perihal dugaan tawaran itu. Mereka mengamini ada kontrak senilai ratusan juta tanpa proposal tertulis untuk memberitakan kesuksesan pemerintahan Jokowi.

‘Menyetir dan membungkam media massa dengan uang’

Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida, berpendapat bahwa tawaran kontrak itu merupakan upaya untuk menyetir dan membungkam media massa dengan uang.

“Kami merasa ini keterlaluan. Mereka ingin mengkooptasi, mempengaruhi, dan memanipulasi media dengan dipaksa menulis yang baik-baik dan melupakan hal lain yang memiliki dampak luas di masyarakat.”

“Kayak model IKN, itu kan ditulis yang bagus-bagus. Padahal di balik itu ada penggusuran, pengeringan tempat air sekarang jadi susah hingga intimidasi.”

Dampak buruk dari cara ini, kata Nany, akan melenyapkan transparansi media massa.

“Jadi kita enggak bisa lagi mengharapkan media akan memberikan informasi di balik sebuah informasi,” katanya.

Kemudian, katanya, media menjadi tak berdaya karena terbelenggu oleh balas budi.

“Dan yang paling mengkhawatirkan ini akan preseden, kebiasaan. Jadi nanti ke depannya media tinggal dikasih uang, enggak ada lagi kekritisan. Media gagal jadi anjing penjaga karena bisa dibayar,“ ujar Nany.

Bentuk dugaan kerja sama Kemenkominfo ini disorot Dewan Pers. Anggota Dewan Pers, Sapto Anggoro, mengungkapkan orkestrasi informasi sebetulnya sah saja asalkan tidak mengabaikan Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Media Siber.

Dalam keduanya diatur bahwa media wajib membedakan dengan tegas antara produk berita dan iklan. Kalau memang benar sejak awal direncanakan bahwa konten yang semestinya iklan tersebut dibuat sebagai berita organik maka ada indikasi pelanggaran, kata Sapto.

“Kalau pagar api itu tidak ada, berarti secara tidak langsung itu melakukan penipuan secara terstruktur dan terencana untuk memberikan informasi yang tidak sesungguhnya kepada masyarakat. Dalam artian, ini berita atau bukan berita. Itu yang jadi masalah.”

Namun begitu Dewan Pers masih perlu mengumpulkan informasi dan memastikannya. Baik ke kementerian terkait maupun ke perusahaan media. Ia mengatakan hingga kini belum ada laporan pengaduan yang masuk ke lembaganya.

Meski begitu, terbuka kemungkinan Dewan Pers akan bersikap proaktif dan membawanya ke rapat pleno.

“Kami bisa memanggil atau mengecek apakah media-media tersebut melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik atau tidak. Kami belum sampai [ke sana]. Kalau ketua atau Mbak Ninik sudah bicara berarti sudah ada sinyalemen, ada informasi yang sampai ke tempat kami,” ucap Sapto, merujuk Ninik Rahayu selaku ketua Dewan Pers.

Lebih lanjut Sapto juga mempertanyakan muasal anggaran yang digelontorkan untuk kerja sama. Apakah diambil dari kantong negara atau lainnya.

“Kalau dananya dari negara, ya siapa saja yang mendapat, dan kenapa mereka tidak menggunakan hal-hal yang sesuai kode etik dan pedoman pemberitaan media siber?”

“Karena nanti di pleno kami akan memutuskan untuk memberikan keputusan atau sanksi, baik kepada lembaga maupun kepada pihak medianya. Karena ini bisa mengganggu, dalam konteks kemerdekaan pers. Karena dia tidak lagi menulis berdasarkan independensinya, tapi karena by order,” pungkas Sapto.

‘Operasi manipulasi‘ di media sosial

Selain di media massa, upaya mengampanyekan keberhasilan Jokowi juga disebut berkumandang di media sosial.

Lembaga Data & Democracy Research Hub menemukan adanya “orkestrasi atau operasi manipulasi” yang sangat masif di X (dulu bernama Twitter) untuk mengubah citra Jokowi yang mayoritas negatif menjadi positif.

Hal itu terbaca dari penggunaan tagar: #terimakasihjokowi, #TerimaKasihPresidenJokowi, #SelamatBertugasPrabowo, #10thnJokowiPrabowo, dan #KerjaNyataJokowi, sepanjang periode 1 hingga 14 Oktober 2024.

“Ada orkestrasi atau operasi manipulasi citra Jokowi yang sangat masif di media sosial. Pasti ada yang menggerakkan ini. Di akhir masa jabatannya, percakapan tentang Jokowi lebih banyak yang negatif, mulai dari peringatan darurat, Fufufafa, politik dinasti hingga IKN. Jadi ini seperti ada upaya membersihkan nama Jokowi di saat-saat terakhirnya,” kata Ika Idris, Co-director Data & Democracy Research Hub.

Selain itu, Associate professor di Monash University Indonesia ini melihat perbincangan di media sosial juga bertujuan agar “jangan sampai apa yang dilakukan Jokowi di akhir-akhir pemerintahannya itu berpengaruh ke sentimen netizen terhadap pemerintahan Prabowo yang baru.”

Orkestrasi kampanye ‘Terima Kasih Jokowi’ dilihat dari tiga indikator. Rekan Ika dari lembaga yang sama, Derry Wijaya menjelaskan yang pertama adalah jumlah rata-rata twit tiap akun.

Berdasarkan temuannya, terdapat 46.106 percakapan yang melibatkan 6.182 akun. Artinya setiap akun mencuit sebanyak 7,45 kali. ”Angka itu terlalu banyak. Kalau misalnya dalam dua minggu itu 7 twit-an untuk tagar yang sama. Biasanya kalau organik cuma satu sampai 1,5 malah, untuk rata-rata twit-an,” komentar Ika.

Indikator kedua adalah pola waktu puncak percakapan. Temuannya menunjukkan percakapan tentang ‘Terima Kasih Jokowi’ mencapai puncak di pukul 12.00 hingga 15.00 WIB.

”Biasanya cara kerja buzzer memang begitu. Kalo misalnya ada pesanan twit, dia akan naik di jam tertentu, kata Ika.

"Berbeda dengan yang organik atau tidak pakai tagar, hanya Jokowi saja, itu cenderung merata waktunya,” timpal Derry.

Terakhir adalah perubahan sentimen percakapan warganet.

Derry melihat pembicaraan ‘Thank You Jokowi‘ nada positifnya mendominasi.

“Artinya memang sengaja dibuat untuk membuat sentimen yang positif. Terus kalau kita lihat emosinya juga emosinya paling banyak joy, isinya itu untuk bergembira ibaratnya,“ kata Derry.

Padahal jika hanya ditulis Jokowi saja maka sentimen negatif jauh lebih besar. Hal itu, kata Derry, terlihat dalam analisis sejak Juni hingga akhir September, di mana puncak percakapan negatif tentang Jokowi terjadi pada 22 Agustus, saat ‘peringatan darurat muncul‘ sebagai respon dari rencana DPR merevisi UU Pilkada.

Ika Idris menambahkan, ”operasi memanipulasi” percakapan publik di Twitter untuk memoles citra Jokowi adalah upaya yang sia-sia.

”Ibarat menggarami lautan. Dari sisi sentimen, tagar-tagar itu tetap kalah jauh. Sentimen percakapan jika hanya memakai kata ‘Jokowi’ lebih banyak negatifnya daripada positif. Lalu saat peringatan darurat, tagar-tagar untuk meredam isu seperti ‘pilih damai bareng Prabowo’ itu juga jumlahnya kecil banget,” tutupnya.

Pola sama juga terlihat dalam analisis Drone Emprit yang mencatat lebih dari 175 juta interaksi dan 25.000 mention yang melibatkan 4.846 akun di beragam platform media sosial, dari 1-14 Oktober 2024 dalam kampanye ‘Terima kasih Jokowi‘.

Dari jumlah interaksi itu, yang terbesar adalah di platform X yang mencapai 171 juta interaksi, lalu di Tiktok sebesar 3,6 juta, dan diikuti Youtube (198.843), Facebook (21.084) dan Instagram (3.889).

Peneliti Drone Emprit, Rizal Nova Mujahid, mengatakan akun-akun yang paling banyak memproduksi perbincangan positif adalah kementerian, lembaga, BUMN dan juga pendukung Jokowi. Mereka membahas tentang kemajuan ekonomi, infrastruktur, pariwisata, hingga keberpihakan pada kelompok rentan 10 pemerintahan Jokowi.

Untuk di X dalam periode itu, kata Nova, #TerimakasihPakJokowi digunakan dalam 14.800 cuitan, kemudian diikuti #KerjaNyataJokowi dengan 6.010 cuitan, #JokowiMerakyat 4.098 cuitan, dan belasan cuitan lainnya.

Nova pun melihat tren kampanye ‘Terima kasih Jokowi‘ terus meningkat dari hari ke hari walaupun tipis dan dilakukan secara terorganisir.

“Betul ini sangat terorganisir, dilihat dari narasinya yang serupa, waktu posting tidak terpaut jauh. Lalu kecenderungan antara akunnya yang ada interaksi, dan ada kluster yang kelihatan dekat sekali.“

Lalu apa tujuan yang dibaca dari kampanye ini? Nova melihat, “Kampanye ini dihubungkan dengan Pak Jokowi yang ingin memberikan legitimasi dan pesan bahwa yang sudah dilakukan bisa dilanjutkan Pak Prabowo menuju Indonesia Emas,“ kata Nova.

‘Lagu lama digunakan kembali’

Pola-pola yang dilancarkan dalam kampanye keberhasilan 10 tahun Jokowi ini disebut mirip dengan fenomena pada beberapa kasus sebelumnya seperti Pemilu 2019, revisi UU KPK, penerapan new normal, Omnibus Law, Pemilu 2024 dan IKN.

Temuan ini merupakan hasil penelitian kolaborasi antara Universitas Diponegoro, LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), KITLV Leiden, dan University of Amsterdam.

Riset tentang Influence Operation, Social Media Propaganda, Cyber Troops yang dikerjakan pada 2019 hingga kini, mendapati aneka operasi bekerja terutama pada kebijakan-kebijakan yang bermasalah atau pada masa-masa Pemilu.

Itu mengapa Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto, yang juga tergabung mengerjakan riset tersebut mengaku tak kaget ketika melihat pola serupa mengemuka pada pengujung masa kekuasaan Jokowi.

Praktik orkestrasi informasi bukan saja menggunakan pasukan siber di media sosial tapi juga mengamplifikasi isu melalui media arus utama. “Ini sih sebenarnya lagu lama, pola lama yang digunakan kembali,” kata Wijayanto mengibaratkan.

Berdasarkan beberapa studi kasus, sedikitnya ada empat ciri pola manipulasi informasi antara lain: konten dibuat secara profesional, ada tsunami percakapan, kemunculan akun-akun anorganik–akun robot bekerja, dan amplifikasi media arus utama.

Jika sudah begini, menurut Wijayanto, dampak yang lebih serius sebenarnya terhadap demokrasi itu sendiri. Publik tidak mendapatkan informasi yang benar. “Pemerintah bisa saja otoriter, tapi karena bisa manufacturing consent, menggalang dukungan publik dengan manipulasi ini. Dan ini membahayakan demokrasi,” imbuhnya.

Apa tanggapan pemerintah atas tudingan itu?

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo, Prabu Revolusi, mengaku tidak pernah ada tawaran miliaran rupiah dari pemerintah ke salah satu media massa, yang disebut bertujuan memoles citra Presiden Joko Widodo di akhir masa jabatannya.

Prabu Revolusi mengatakan setiap kerja sama antara pemerintah dan media terkait pemberitaan pasti melewati surat menyurat atau dengan dokumen resmi.

”Jika memang ditawari, coba ada suratnya enggak? Tidak mungkin Kominfo membuat kerja sama tanpa dokumen, ini good corporate governance yang kami jaga. Saya mau tahu malahan karena selama saya ada di Kominfo enggak pernah ada penawaran miliaran rupiah sama media,” kata Prabu.

Walau demikian, Prabu memang mengakui bahwa memang ada program antara pemerintah dan media untuk mensosialisasikan beragam capaian pemerintahan Jokowi ke publik, dan hal itu sudah terjalin sejak lama.

“Ya, betul, ada [program itu]. Dan itu kan hal yang sangat wajar. Kita, pemerintah mensosialisasikan ke publik capaian pemerintah. Dan saya pikir ini bukan tentang program pemerintah saja. Media pun pasti dengan sendirinya mengangkat berita saat presiden dan wakil presiden akan purnatugas. Kan memang masyarakat membutuhkan informasi itu,“ tambahnya.

“Jadi tanpa ada pemerintah membuat program 10 tahun pemerintahan Presiden Jokowi, media pun pasti akan mengangkat angle itu. Itu sih momentum yang ditunggu-tunggu oleh media untuk mengangkat hal itu.“

Prabu menjelaskan mekanisme kerja sama itu pasti dilakukan melalui surat resmi, baik pemerintah ataupun media yang menawarkan proposal.

“Misalnya Kominfo menawarkan satu media untuk mengerjakan sesuatu. Kami pasti akan membuat surat penawaran, misalnya membuat forum diskusi. Atau juga bisa dari medianya sendiri yang menawarkan, mengajukan proposal. Dan kami punya semua dokumennya. Kominfo tidak mungkin membuat kerja sama tanpa dokumen. Pastikan akan diperiksa nanti,“ ujarnya.

Selain itu Prabu juga menegaskan bahwa selama ini, kerja sama antara dengan media, dalam prosesnya diserahkan kepada media itu sendiri untuk memproduksi dan menulis beritanya “karena kan media yang paling paham, yang lebih ngerti ya cara membuatnya seperti apa, gitu bukan pemerintah,“ katanya.

Terkait tudingan AJI bahwa transaksi ini akan melenyapkan transparasi, dan membelenggu media dengan balas budi, Prabu menjawab, “Itu yang saya mau tanyakan sama Mbak Nany. Uang yang mana? Belum apa-apa sudah menuduh, uang yang mana? Dan tuduhan bahwa nanti membelenggu media. Media di Indonesia itu sudah sangat matang, tidak mungkin bisa diatur-atur.”

Selain itu, Prabu juga membantah tudingan yang menyebut bahwa interaksi warganet tentang ‘Terima Kasih Jokowi’ di sosial media merupakan sebuah orkestrasi atau upaya yang terorganisir.

“Yang mencintai Pak Jokowi itu banyak loh. Kenapa sih harus meragukan saat tiba-tiba ada begitu banyak orang yang berterima kasih pada Jokowi? Kok, skeptis amat? Survei saja kalau dilihat kepuasannya 75%, angka itu dikalikan 280 juta masyarakat Indonesia, berapa ratus juta itu,“ kata Prabu.

“Artinya apa? wajarlah kalau misalnya di akhir purna tugas, lalu ada aktivitas untuk berterima kasih pada Pak Jokowi. Saya sendiri buat dan saya memang ingin berterima kasih sama Pak Jokowi. Kenapa kita harus meragukan dan berpikir bahwa ini diorkestrasi,“ tambahnya.

Selain itu, Prabu juga melihat bahwa tagar dan konten ‘Terima Kasih Jokowi‘ sudah dimulai sejak Juni lalu hingga sekarang.

“Jadi, sepertinya terlalu dipaksakan untuk berpikir ke arah bahwa ini ada orkestrasi. Enggak, yang cinta Jokowi banyak banget.“

“Terus ada yang bilang menggunakan influencer sosial media. Ya sama, influencer juga banyak yang sayang sama Pak Jokowi. Kenapa harus berpikir bahwa setiap influencer yang posting atau yang buat konten, maka itu pasti dibayar? Enggak.“

”Di luar setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka dengan beliau. Tapi berterima kasih sama pemimpin itu kan hal yang lumrah di kita.“  I bbc
×
Berita Terbaru Update
close